Rabu, 07 Maret 2012

237 Peningkatan Pembelajaran Sastra Anak Melalui Model Play-Learning dan Performance-Art Learning

Oleh Afendy Widayat, dkk




Dibiayai oleh Dana DIPA UNY Sub Kegiatan 00015
AKUN 521219 Tahun Anggaran 2010
LEMBAGA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
Tahun 2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Dari hasil penilain seritikafi tahun 2009, ternyata guru-guru SD Kabupaten Kulon Progo, termasuk lingkup UPTD Kecamatan Pengasih, banyak yang belum mencapai target sukses. Bahkan ketika mereka harus mengikuti PLPG, pada saat pratik micro-teaching cukup memprihatinkan. Dalam pembelajaran sastra anak misalnya, pada umumnya mereka masih praktik dengan gaya lama. Materi tembang dolanan dan dongeng yang nyaris menantang untuk diformat dalam model unik dan menarik, tidak dilakukan sama sekali. Apabila hal ini dibiarkan berjalan apa adanya, setelah lulus PLPG pun guru-guru tersebut akan mengajarkan sastra anak tanpa gairah.
Lebih parah lagi, menurut laporan Kompas 29 April 2009, terbukti banyak pemalsuan portofolio oleh para guru di Kulon Progo. Potret buram ini juga ikut andil terhadap peta pembelajaran sastra anak yang belum ke arah profesionalisme guru. Hal ini dapat diduga bahwa kemampuan guru SD di Kulon Progo memang masih memerlukan pendampingan secara serius, agar pembelajaran sastra anak berjalan sebagaimana mestinya. Pemalsuan berbagai dokumen sertifikasi, apapun alasannya jelas tidak dibenarkan. Selain itu, pemalsuan juga menjadi indikasi bahwa guru-guru SD tersebut belum memiliki kemampuan profesional, khususnya bagaimana mengemas pembelajaran sastra anak yang menarik dan menyenangkan.
Memang harus diakui, selain tingkat pendidikan guru SD Kulon Progo juga masih banyak yang belum mengikuti D3 PGSD, mereka juga jarang tersentuh oleh pelatihan-pelatihan dari tenaga ahli di bidang sastra anak. Berbeda dengan guru-guru di wilayah Sleman dan Bantul, Kulon Progo termasuk jauh dari pusat-pusat Perguruan Tinggi. Bahkan KKN-PPL PGSD UNY pun jumlahnya relatif lebih sedikit dibanding kabupaten lain. Situasi demikian masih ditambah lagi dengan daya dukung Pemda setempat yang masih kurang memberikan modal keterampilan bersastra anak. Padahal sesungguhnya sastra anak merupakan persoalan yang amat menarik dan disukai oleh siswa SD apabila disajikan secara memadahi. Sastra anak adalah fenomena yang menggelitik apabila guru telah memahami cara-cara pembelajaran yang inovatif-kreatif.
Akibat dari keadaan di atas, jelas merupakan salah satu faktor penghambat kelancaran kenaikan pangkat atau pengajuan sertifikasi dan PAK. Hal ini terjaring dalam data yang dimiliki Dinas Pendidikan Kabupaten Kulon Progo (2009), bahwa rata-rata pengusulan sertifikasi guru SD pasti ada yang kurang (tidak lulus) antara 5-10 orang dari 25 orang yang diusulkan. Selain itu kenaikan pangkat  guru-guru SD kabupaten Kulon Progo juga 90% berhenti (mentok) pada golongan IV/a. Padahal, sesungguhnya masih terbuka kesempatan baik umur maupun kemampuan untuk pengembangan kompetensi sebagai inovasi dan kreativitas model pembelajarna sastra anak. Inovasi dan kreativitas menjadi nilai plus   untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat/golongan berikutnya dan juga sertifikasi yang menjanjikan finansial itu.
Sebetulnya para guru SD memiliki banyak peluang untuk mengolah, memformat, dan menyajikan pembelajaran sastra anak, seperti dongeng, lagu dolanan anak, dan puisi lisan lainnya. Hal ini mengingat hampir tiap tahun sering diadakan Porseni tingkat SD di seluruh DIY. Bahkan akhir-akhir ini juga sering diadakan lomba mendongeng bagi siswa SD dan lomba mengajar inovatif-kreatif oleh Dinas Dikpora DIY. Kalau demikian, sesungguhnya memang mendesak segera dilakukan pembinaan, peningkatan, dan pemberdayaan guru SD terhadap kreativitas pembelajaran sastra anak. Itulah sebabnya, pembelajaran sastra anak model play-learning dan performance art-learning dapat menjadi alternatif mengatasi kebuntuan situasi itu.
Model tersebut dipilih karena keduanya merupakan wujud pembelajaran yang inovatif-kreatif, sehingga mampu menggiring para guru dan siswa untuk mampu membenahi kelemahan-kelemahan yang ada di sektor pendidikan untuk menjadi lebih berkembang dan berdaya guna. Kedua model itu juga akan menolong para guru SD agar mampu melakukan perubahan pembelajaran sastra anak di sekolah. Dengan begitu siswa SD kelak akan semakin enjoy dan tertarik belajar sastra anak untuk ikut membangun emotional inteligence-nya.
B. Landasan Teori
1. Sastra Anak
Jauh sebelum muncul istilah sastra anak (Nurgiyantoro, 2005:2) sebenarnya beberapa pemerhati karya sastra telah membicarakan hal itu. Namun pada masa itu, mereka belum eksplisit menyebut sastra anak (children literature). Waktu itu, tahun 1966 Hassan, Simandjuntak, Koentjaraningrat, S. Sastrawinata, dan lain-lain yang terkumpul dalam buku Batjaan Anak-anak, masih ada keraguan menyebut sastra anak. Mereka cenderung menyebut istilah bacaan anak. Istilah bacaan anak mengisyaratkan bahwa perhatian para ahli pada sastra anak masih terbatas pada sastra tulis. Padahal sastra anak juga tidak sedikit yang mengetengahkan bentuk-bentuk sastra lisan. Bahkan sastra lisan anak-anak kadang-kadang mendominasi dunia anak. Anak mudah teringat dengan sastra lisan dibanding sastra tulis. Lepas dari tegangan sastra lisan dan tulis, sastra anak memang tetap membutuhkan perhatian tersendiri.
HISKI Komda DIY bekerjasama dengan Rumpun Sastra FBS UNY, tahun 2005, pernah menyelenggarakan seminar sastra anak. Yang paling mencuat pada saat itu, antara lain masalah bagaimana pembelajaran sastra anak dapat memenuhi sasaran. Sastra anak tentu memiliki keunikan tersendiri, hingga pembelajarannya pun membutuhkan model-model yang khas. Hakikat sastra anak tidak jauh berbeda dengan sastra pada umumnya, hanya obyek garapnya yang berbeda. Menurut Lukens (Nurgiyantoro, 2005:3) ada pandangan yang menarik tentang sastra anak. Menurut dia, sastra itu memberikan kesenangan dan pemahaman. Tawaran dua hal ini seringkali dilupakan oleh para pengajar sastra anak. Akibatnya seusai pembelajaran sastra anak hanya sia-sia. Maksudnya siswa tidak memperoleh manfaat kesenangan dan pemahaman tentang hidup. Padahal pembelajaran sastra anak yang sukses, tentu akan memberikan nilai plus yaitu hiburan dan manfaat bagi pengembangan mental siswa.
Secara psikologis, setiap umur anak memang menyukai karya sastra anak yang bervariasi. Pada umur tertentu, anak-anak menyukai cerita, dan ada kalanya menyenangi puisi. Sebagai pendengar, anak-anak (balita) usia 4–5 tahun, sudah dapat menerima dan merasakan keindahan inti sari cerita karena kepintaran otaknya mengungguli kekuatan badannya (Gana, 1966:53). Pada usia taman kanak-kanak (4–7 tahun) mereka sudah dapat menangkap cerita yang dikisahkan meskipun belum mampu membedakan khayalan dengan kenyataan (Nugroho, 1988:10–11). Pada usia sekolah dasar (7–12 tahun) di samping mendengarkan, anak-anak sudah dapat membaca. Atas dasar ini berarti sastra anak sebenarnya telah dapat dikembangkan sebagai bahan ajar di SD.
Para ahli berpendapat bahwa anak-anak usia 8–12 tahun merupakan pengamat-pengamat yang teliti dan serius karena pandangan mereka yang realistis terhadap dunia, serta pandangan mereka yang serius terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya (Nugroho, 1988:11). Dikemukakan oleh Gana (1966:58) bahwa anak-anak usia 9-­10 tahun mulai terbuka minatnya, penglihatannya lebih realistis dan lebih teliti, analisisnya lebih tajam dan lebih kritis. Segala yang dibacanya ingin diketahui seluk-beluknya, kemudian pada usia 11–12 tahun anak-­anak sudah mulai merasa cukup mempunyai dasar untuk menelaah segala ilmu pengetahuan dan dengan dorongan jiwanya mereka sudah mulai merasa untuk mencoba-coba menjelajah dunia (Gana, 1966:59). Itulah sebabnya, penyajian berbagai karya sastra anak yang membuka wawasan dunia, kiranya memang perlu dilakukan.
Menurut Davis (1967:13–18), ada beberapa sifat sastra anak yaitu bersifat (1) tradisional, yaitu tumbuh dari lapisan rakyat sejak zaman dahulu dalam bentuk mitologi, fabel, dongeng, legenda, dan kisah kepahlawanan yang romantis; (2) idealistis, yaitu yang pantas dan universal, dalam arti didasarkan pada bahan yang terbaik yang diambilkan dari zaman dahulu clan karya penulis terbaik pada masa kini; (3) populer, yaitu yang bersifat hiburan, yang rnenyenangkan anak-anak; dan (4) teoretis, yaitu yang dikonsumsikan kepada anak-anak dengan bimbingan dan arahan orang-orang dewasa. Sifat sastra anak demikian yang perlu mendapat penekanan dalam pembelajaran sehingga pemilihan bahan ajar memang tepat, sesuai dengan dunia anak.
Perlu diketahui bahwa sastra anak sebagian besar dikerjakan oleh orang-orang dewasa (Sarumpaet, 1976:23). Kondisi ini jika tanpa selektif dalam pembelajaran, kurang dikaitkan dengan keinginan anak, bisa jadi pembelajaran menjadi kurang bermakna. Ciri-ciri penting lain yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran sastra anak adalah bahwa dalam cerita anak-anak terdapat (1) sejumlah tantangan, yakni hanya hal-hal tertentu saja yang dapat disuguhkan kepada anak-anak; (2) penyajian secara langsung, yakni kisah yang ditampilkan memberikan uraian secara langsung, tidak berkepanjangan, dan (3) fungsi terapan, yakni memberikan pesan dan ajaran kepada anak-anak (Sarumpaet, 1976:23,31,32).
Cerita anak-anak selalu ditandai oleh adanya hal-hal yang bersifat informatif, elemen-elemen yang bermanfaat dan menambah pengetahuan, serta disajikan dalam bahasa yang lugas (Sarumpaet, 1976:32). Dikemukakan oleh Innis (1967:67–18) bahwa tujuan menulis cerita anak­anak adalah untuk (1) menghibur agar anak dapat tertawa terpingkal­-pingkal dan senang hatinya; (2) memberikan informasi kepada anak tentang fenomena fisik, objek-objek, cuaca, dunia binatang, diang dan malam, musim, hukum-hukum tisik, dan khayalan; serta (3) memberikan tuntunan tentang tingkah laku dan perkembangan pola tentang tingkah laku. Berkenaan dengan hal itu, ada tujuan tertentu ketertarikan anak terhadap cerita, yaitu (1) rasa ingin tahu, (2) rasa ingin menemukan fakta selain fakta kehidupan dan rasa ingin mengerti jatidirinya, (3) rasa ingin kembali kepada kenyataan, (4) rasa ingin menenteramkan hati untuk mencari ketenangan, (5) rasa ingin mencari tokoh idola yang dapat diteladani, dan (6) rasa ingin mencari kenikmatan (Innis, 1967:73–75). Sejalan dengan hal di atas, dikemukakan oleh Arbuthnot (1964:17) bahwa cerita anak-anak diharapkan dapat memperluas cakrawala, memperdalam pengetahuan, dan mengembangkan wawasan sosial.
Anak-anak memerlukan bacaan yang menimbulkan kegembiraan atau memperdalam daya apresiasi yang indah. Selain itu, mereka membutuhkan keteladanan, fantasi, realisme yang sederhana. Mereka juga membutuhkan buku bacaan yang baik, yang dapat membantu perkembangan untuk menunjukkan ukuran yang benar dan yang salah. Dikemukakan oleh Murpratama (1991:12) bahwa mutu bacaan anak-anak harus mendapatkan perhatian mengingat buku amat berperan dalam menentukan arah perkembangan kualitas sumber insani bagi pembangunan, baik dalam mutu pengetahuan dan keterampilan maupun ketangguhan kepribadian.
Dalam pembagian Nurgiyantoro (2005:99-162) sebenarnya ada jenis sastra anak tradisional. Sastra anak tradisional Jawa misalnya ada yang berupa: (a) puisi lagu dolanan dan (b) tradisi cerita lisan. Keduanya sering menjadi bahan acuan bagi anak siswa SD di Jawa. Sayangnya, pembelajaran kedua hal itu masih banyak yang dilakukan secara manual dan atau dengan model lama. Jarang para guru yang berani menciptakan inovasi dan kreativitas melalui play-learning dan performance art-learning. Padahal, pembelajaran sastra anak yang dikemas melalui kedua model ini, jelas akan lebih menarik dibandingan dengan pembelajaran lama yang hanya mengandalkan ceramah belaka.
Selain memperoleh hiburan, pembelajaran sastra anak, menurut Majid (2001:3-8) akan mendidik siswa. Siswa akan mendapatkan pelajaran berharga dalam mengarungi sastra anak yang penuh kesenangan. Nilai pendidikan sastra anak akan mudah dicerna, tertanam, dan dihayati ketika siswa merasakan kepuasan diri. Pada saat itu siswa dapat menyelami keindahan dan sekaligus makna sastra anak secara total. Siswa tidak hanya memahami tokoh, tidak sekedar mengenal judul, melainkan juga menemukan semacam penyucian jiwa ketika belajar olah sastra anak.
Atas dasar pendapat di atas, berarti pembelajaran sastra anak memang perlu ditata sedemikian rupa agar mencapai fungsi hiburan dan pemahaman nilai. Pembelajaran yang memang dikemas dengan peta hiburan, akan merangsang jiwa siswa untuk belajar sambil bermain. Belajar sambil bermain akan menolong kebosanan siswa. Belajar dan bermain juga sekaligus mengusir keengganan membaca, mendongeng, melantunkan puisi anak, yang sesuai dengan karakter masing-masing.  Jika demikian belajar sastra anak yang menyenangkan akan menjadi jalan eksplorasi mental. Siswa akan menghayati tokoh, peristiwa, dan seni yang unik.

2. Play-Learning dan Performance art-learning
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang gemar bermain. Oleh sebab itu mengolah pembelajaran menjadi play-learning, tentu akan menjadi daya tarik khusus bagi seorang siswa. Play-learning, artinya pembelajaran yang penuh dengan dramatik. Pembelajran dipoles dengan penampilan yang memukau. Penyajian diwujudkan dalam seni bermain (dolanan).
Endraswara (2009:68) dalam bukunya 30 Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra, menjelaskan bahwa play-learning adalah model pembelajaran yang penuh dengan getar permainan. Play-learning meliputi pembelajaran yang mengutamakan permainan dan lagu. Aspek integrasi materi satu dengan yang lain patut dilakukan guna menemukan keindahan dalam sastra anak. Kunci permainan harus cermat. Permainan harus ada kalah dan menang. Yang kalah diberikan punish yang mendidik, yang menang diberikan reward.
Permainan dalam sastra selalu mempertimbangkan estetika. Para pemain yang bagus diberi pengayaan. Setiap langkah bermain selalu ada selipan nilai luhur. Oleh sebab itu, play-learning merupakan model untuk menghibur sekaligus menanamkan nilai budi pekerti luhur. Belajar sastra anak menjadi suatu hal yang mengangkat harkat dan martabat humanis siswa. Siswa akan digiring untuk belajar lebih atraktif, penuh dengan gelak dan tawa ria. Namun demikian pembelajaran tetap pada porosnya, yaitu kekhidmatan.
Dalam bidang sastra anak, tentu saja banyak unsur yang dapat diolah melalui bermain. Apalagi memang hakikat sastra anak itu sendiri lekat dengan istilah permainan. Dalam permainan, tentu ada aturan, tatanan, yang memolessebuah tampilan lebih menyenangkan. Begitu pula dengan permainan dalam sastra anak, tentu membutuhkan berbagai bentuk aturan permainan. Setiap sastra anak dapat dimainkan dengan berbagai bentuk.
Permainan sastra anak dapat dikemas kedalam bentuk performance art-learning, artinya seni pertunjukan. Sastra anak dapat diajarkan ke arah seni pertunjukan yang menyedot jiwa siswa. Siswa dapat diajak menelusuri sastra menggunakan aneka pertunjukan. Dengan cara itu, seorang siswa akan belajar sastra anak pelan-pelan, penuh kesenangan. Schechmer (1977:69-81) memberikan teori penting bagi performance of art-learning dalam pertunjukan sastra. Dia berpendapat bahwa seni pertunjukan sastra dapat dibuat seperti halnya drama ataupun teater. Pelaku drama tentu manusia yang pandai berdrama. Berdrama artinya pandai memoles situasi, bisa berminyak air, bisa menyatakan yang tidak sebenarnya, dan imajinatif. Maka mempertunjukan sastra, tidak lain adalah bermain dengan estetika.
C. Identifikasi dan Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian analisis situasi dapat dibuat identifikasi permasalahan sebagai berikut:  (1) guru SD mengalami kesulitan dalam pembelajaran sastra anak yang menarik,  (2) guru SD kurang paham tentang model-model pembelajaran inovatif dan kreatif untuk sastra anak, (3) guru SD masih mengajarkan sastra anak baik lisan maupun tulisan dengan model taradisional, yang mengutamakan hal ihwal teoritik, (5) guru SD perlu pelatihan atau workshop pembelajaran sastra anak yang menghibur sekaligus untuk menanamkan nilai luhur.
Dari identifikasi masalah di atas dibatasi dan dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
(1)    Diadakan pelatihan tentang hakikat sastra anak sebagai materi pembelajaran sastra bagi siswa SD di Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo.
(2)    Diadakan pelatihan tentang model-model pembelajaran sastra anak yang menarik minat siswa bagi guru SD di Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo.
(3)    Diadakan workshop pembelajaran sastra anak dalam bentuk micro teaching menggunakan model play-learning dan performance art-learning.
(4)    Diadakan tutorial dan pendampingan pembelajaran sastra anak dengan model play-learning dan performance art-learning di sekolah masing-masing.
Untuk menjelaskan rumusan masalah di atas berikut akan diuraikan tentang definisi kegiatan yang akan dikerjakan sebagai berikut.
(1)     Pelatihan hakikat sastra anak, akan memberikan berbagai karakteristik sastra anak, nilai-nilai penting di dalamnya, serta estetika dalam sastra anak yang memungkinkan alternatif pembelajaran inovatif.
(2)     Pelatihan model-model pembelajaran, akan memberikan sejumlah tawaran model play-learning dan performance art-learning, sehingga guru dapat memilih sesuai konteks sekolah masing-masing.
(3)     Pelatihan mico-teaching, adalah wujud pendadaran awal apakah materi pelatihan telah dikuasai sebelum terjum ke sekolah, di depan anak-anak, ataukah masih perlu penyempurnaan.
(4)     Pelatihan dalam bentuk pendampingan yaitu perwujudan (real-teaching) inti play-learning dan performance art-learning bagi pembelajaran sastra anak di sekolah.

D. Tujuan Kegiatan
(1)    Untuk membekali guru SD tentang model pembelajaran yang inovatif dan kreatif bagi materi sastra anak.
(2)    Melakukan pendampingan dan konsultasi dalam pembelajaran sastra anak agar para guru SD mampu menjadi insan profesional dan kreatif.
(3)    Menawarkan berbagai kemungkinan model pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan jaman.

E. Manfaat Kegiatan
Apabila tujuan pengabdian ini dapat terwujud, maka manfaat yang dapat diperoleh adalah:

1. Bagi Guru

(1) Guru-guru SD mendapat tambahan pengalaman yang berharga  tentang hakiakt sastra anak sebagai materi pembelajaran yang menarik.
(2) Guru-guru SD mendapat tambahan pengalaman bagaimana proses pembelajaran yang menyenangkan.
(3) Guru-guru SD memperoleh pengalaman inovasi pembelajaran sastra anak sesuai dengan kebutuhan.
(4) Guru SD mendapat pengalaman umpan balik serta pendampingan agar pembelajaran sastra anak yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan siswa.
(5) Guru SD juga dapat melakukan strategi pengembangan model yang dimungkinkan, agar sastra anak di sekolah tetap diminati oleh siswa.
(6) Guru SD dapat mawas diri seberapa kemampuan mengajarkan sastra anak.
2. Bagi Pengabdi:
(1)      Mendapat pengalaman berharga untuk mengembangkan ilmu khususnya bidang metode pembelajaran dan medianya.
(2)      Memperoleh pengalaman nyata untuk segera melakukan penyesuain di lapangan, seberapa kemampuan guru dan tuntutan siswa secara kontekstual.
(3)      Melakukan renovasi bahan-bahan penulisan karya ilmiah, sesuai dengan tuntan di lapangan pendidikan.

BAB II METODE KEGIATAN PPM
A. Khalayak Sasaran
Khalayak sasaran kegiatan pengabdian ini adalah guru-guru SD yang berasal dari guru (a) yang telah lulus sertifikasi,tetapi masih mengajarkans astra anak dengan model lama, (b) guru SD yang berhenti (mandul) naik pangkat (mentok) pada golongan Iva, (c) dan guru SD yang memiliki visi inovatif dalam pembelajaran sastra anak.
Sadar atau tidak, setelah guru kembali dari PLPG dan lulus sertifikasi melalui portofolio, belum tentu profesionalismenya mengajar sastra anak selalu inovatif. Apalagi bagi guru yang belum mengenyam sertifikasi dan jarang atau bahkan tidak pernah tersentuh oleh pelatihan pembelajaran, jelas memerlukan pendampingan khusus. Pada umumnya, para guru SD juga sering disibukkan oleh pekerjaan administrasi guru, kelas, sekolah, dan kegiatan lain, sehingga usaha berkreasi menjadi semakin tumpul. Terlebih lagi dengan guru SD yang hampir pensiun dan atau yang berpedoman “begini saja sudah dibayar”. Yang terakhir ini justru yang perlu mendapat perhatian agar pembelajaran sastra anak tidak sekedar menghabis-habiskan waktu.
Berkaitan dengan hal tersebut, layak kiranya para guru yang didasarkan pertimbangan dari UPTD Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo mendapat pemahaman dan pengalaman model pembelajaran play-learning dan performance art-learning. Hal ini perlu ditekankan karena ada pula guru-guru bahasa Jawa SD yang masih “pocokan”, berasal dari bidang yang lain, dan sebagian besar memang guru kelas. Terlebih lagi pelajaran bahasa Jawa ketika duduk di PGSD juga hanya berlangsung satu semester, sehingga memang masih sangat memerlukan pelatihan secara intensif.
Adapun lembaga-lembaga yang terkait dengan kegiatan pengabdian ini adalah:
(1) Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kulon Progo, sub bidang Dikdas, yang menangani masalah peningkatan tenaga guru.
(2) KKG (Kelompok Kerja Guru) sebagai organisasi guru SD yang tergabung menjadi suatu wadah, untuk selalu meningkatkan pembelajaran.
(3) Guru SD mempunyai hak untuk naik pangkat setelah golongan IV/a dengan binaan Dikpora dan instansi terkait (PPM UNY), apabila memang memenuhi syarat profesionalisme.
(4) Dikpora dan PPM UNY mempunyai tugas meningkatkan, merenovasi, dan mengembangkan model-model pembelajaran inovatif dan kreatif sehingga menjadi tradisi intelektual para guru SD.
(5) Guru juga memiliki tugas dan wewenang untuk meningkatkan kinerja dan prestasi sesuai bidang masing-masing, khususnya bidang sastra anak yang amat menggoda dilakukan kreativitas.

B. Metode Kegiatan
(1) Ceramah
Metode ceramah ini dilakukan untuk memberi gambaran penjelasan secara
teoritik dan pragmatik hakikat sastra anak baik lisan maupun tulisan.
(2) Dialog
Dialog tentang model-model inovatif dan kreatif bagi pembelajaran sastra anak yang kontekstual.
(3) Pelatihan
Metode ini dilakukan untuk melatih para guru agar mampu melakukan
(a) micro-teaching secara inovatif-kreatif terutama materi sastra anak, (2) real-teaching di sekolah, agar memperoleh masukan dan pendampingan.
(4) Tanya jawab/konsultasi
Metode tanya jawab sangat ditekankan untuk menyempurnakan proses
Pemilihan model dan sekaligus eksplorasi model ke dalam pembelajaran sastra anak.
(5) Monitoring dan evaluasi:
Cara ini dilakukan oleh pengabdi sebagai kolaborator, untuk peningkatan proses pembelajaran, apakah sejalan dengan semangat model play-learning dan performance ataukah masing menggunakan gaya lama
(6) Refleksi dan diskusi
Pada akhir kegiatan, pengabdi akan mengundang kembali untuk sharing pengalaman dalam bentuk diskusi dan refleksi, pasca pelaksanaan pembelajaran di sekolah dan micro-teaching. Refleksi sekaligus sebagai upaua evaluasi diri apakah telah melakukan perubahan atau belum dalam pembelajaran sastra anak.
(7) Reward/Eksibisi
Bagi guru yang memang memiliki kualifikasi, telah mampu melakukan pembelajaran sastra anak dengan model play-learning dan performance art-learning hingga siswa menjadi tertarik, layak mendapat reward berupa hadiah. Jadi pada waktu pendampingan dan micro-teaching, kolaborator dan pengabdi selalu melakukan evaluasi dan penilaian siapa saja guru yang memang berjiwa kreatif. Guru-guru bahasa Jawa yang memang inovatif dan memiliki visi bagus, kiranya layak diberikan penghargaan, selain berupa sertifikat, juga perlu diberi reward berupa hadiah lain yang mendidik.
C. Langkah-langkah Kegiatan PPM
Kegiatan pengabdian pada masyarakat kali ini langkah-langkahnya sebagai berikut.
(1)   Pengamatan awal (observasi) di kelas oleh pengabdi terhadap situasi pembelajaran sastra anak.
(2)   Perangkuman situasi para guru berdasarkan informasi langsung maupun melalui UPTD Kecamatan Pengasih dan menemukan langkah-langkah solusi ke depan.
(3)   Ceramah dan tanya jawab mengenai hakikat sastra anak, model-model pembelajaran sastra anak, dan model alternatif play-learning dan performance art-learning.
(4)   Pelatihan micro-teaching dan real teaching mengugnakan play-learning dan performance art-learning.
(5)   Follouw up seberapa efektivitas, efesiensi, dan ketertarikan siswa terhadap penerapan model pembelajaran play-learning dan performance art-learning untuk materi sastra anak.Monitoring bersama pengabdi, kolaborator, dan guru untuk peningkatan kegiatan pembelajaran sastra anak selanjutnya.
(6)   Perekaman/dokumentasi/penerbitan data.
(7)   Evaluasi hasil secara komprehensif.
D. Faktor Pendukung dan Penghambat Kegiatan
1. Faktor Pendukung
Pelaksanaan PPM tentang sastra anak dengan metode Play-learning dan Performance-learning terasa sangat segar dan menyenangkan bagi peserta, karena peserta dapat secara aktif menikmati dan menikmati kegiatan ini. Hal yang demikian terutama didukung oleh materinya yang berupa model pembelajaran dengan permainan dan pertunjukan. Di samping itu, khususnya bagi guru-guru SD di Kecamatan Pengasih memang selama ini belum pernah mendapatkan PPM dengan materi semacam ini, bahkan pembelajaran semacam ini yang sesungguhnya pernah mereka pikirkan, sebelumnya tidak pernah dilakukan karena merasa tidak layak. Dengan diadakannya PPM ini mereka merasa mendapatkan justifikasi dan legitimasi, sehingga akan dapat diterapkan dalam praktik pembelajaran di serkolahnya masing-masing.

2. Faktor Penghambat
Yang menjadi faktor penghambat keberhasilan PPM ini, terutama peserta yang sudah merasa tua untuk bersikap dan bermain sebagaimana yang mesti dilakukan oleh siswa-siswa SD. Bagi mereka yang merasa tua ini cenderung enggan untuk melaksanakan permainan dan pertunjukan secara lebih serius.
Faktor penghambat dalam rangka pelaksanaan riil di kelas ialah alokasi waktu dan materi sastra anak di SD yang kurang memadahi sehingga penerapan metode play-learning dan performance-learning tidak dapat banyak digunakan dikelas, bila tidak diterapkan bagi materi pelajaran yang lain.
BAB III
PELAKSANAAN DAN EVALUASI

A. Hasil Pelaksanaan Kegiatan PPM
PPM dilaksanakan di SDN 1 Karangsari Pengasih Kulon Progo, dengan materi ceramah dan tanya jawab perihal pembelajaran dengan metode play-learning dan performance art-learning pada tanggal 21 Juli 2010 dan secara efektif dilakukan praktik mikro teaching, serta contoh pembelajaran di kelas di SDN I Kasrangsari hingga berakhir pada tanggal 24 Juli 2010.
PPM yang semula diancangkan sekitar 20 peserta, pada pelaksanaannya diikuti oleh peserta sejumlah 43 orang guru SD se Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Mereka dengan antusias mengikuti pelaksanaan pelatihan. Namun demikian, jumlah peserta ini menyebabkan jadwal micro-teaching menjadi molor, oleh karena itu peserta dibagi menjadi dua ruang. Micro-teaching dapat berjalan dengan baik.
PPM yang semula diancangkan untuk melakukan monitoring di kelas riil, kali ini cukup dengan model, yakni dipilih guru yang cakap dan dinilai paling baik dalam micro-teaching untuk mengajar di kelas, dengan mengambil kelas lima, di SDN 1 Karangsari Pengasih. Adapun guru-guru yang lain hanya menjadi pengamat yang diharapkan dapat mencontoh yang baik dan kritis terhadap kekurangan-kekurangannya. Model ini dinilai cukup berhasil, sehingga para peserta pelatihan merasa puas, dan mendapatkan pengalaman yang dapat diterapkan di kelasnya masing-masing.
Pelaksanaan PPM kali ini, dipandang penting mengikutsertakan mahasiswa sebagai panitia sekaligus peserta, meskipun belum mampu merekrut lebih banyak. Paling tidak dengan adanya mahasiswa yang ikut menangani baik langsung maupun tidak, akan membekali mereka tentang pembelajaran di lapangan, khususnya pembelajaran sastra anak dengan model play learning dan performance art learning. Kecuali itu para dosen, mahasiswa, dan khalayak sasaran juga akan mendapatkan pengalaman yang berharga dari kontak akademik tersebut.
Pada saat tanya jawab teori, beberapa guru telah menyatakan pemikiran bahwa guru yang merasa tua akan cenderung enggan melaksanakan, karena merasa tidak mampu lagi, namun kemudian pada saat micro-teaching ternyata semuanya dapat menikmati metode Play-learning dan Performance Art-Learning.
B. Pembahasan Hasil Kegiatan
PPM yang dilaksanakan pada guru-guru SD di UPTD Kecamatan Pengasih ini secara umum dapat dikatakan berhasil, yakni berdasarkan evaluasi yang dilakukan secara seksama, baik dalam evaluasi materi maupun evaluasi kemanfaatan. Dalam evaluasi materi, meskipun tidak semua peserta melakukan micro-teaching, namun dari perwakilan yang sempat maju dapat menerapkan model-model pembelajaran play-learning dan performance art-learning pada materi pembelajaran sastra anak. Sebagai contoh adalah ketika peserta micro-teaching mencoba memberikan materi tembang dolanan bocah, metode yang dipergunakan antara lain dengan menugaskan pada pembelajar untuk memperagakan tembang dolanan sederhana berjudul Menthok-menthok untuk kemungkinan diterapkan pada kelas III SD hingga tembang dolanan yang lebih kompleks dan lebih sulit cakepan-nya, yakni berjudul Cublak-cublak Suweng untuk kemungkinan diterapkan bagi siswa kelas V SD. Tingkat inovasi dan kreasinya memang belum maksimal, namun setidak-tidaknya telah mencapai standar kompetensi yang diharapkan bagi kelas masing-masing. Hal semacam ini tentu saja secara umum dapat dikembangkan di dalam pembelajaran yang sesungguhnya di sekolah masing-masing.
Ditinjau dari sisi jumlah pesertanya, yakni yang semula hanya diancangkan sekitar 20 orang dan pada pelaksanaannya mencapai 43 orang, tampak bahwa guru-guru di SD masih sangat perlu mendapatkan pengembangan pelatihan. Hal itu tentu saja tidak hanya secara kwantitatif, karena secara kwalitatif pun, mereka sangat antusias mulai dari awal pelaksanaan dengan mendengarkan ceramah, ikut aktif dalam tanya jawab, hingga pada mikro-teaching dan ketika mengamati contoh pembelajaran di kelas.
Suatu catatan kecil dalam hubungannya dengan metode pembelajaran Play-Learning dan Performance Art Learning ini adalah peserta yang merasa telah tua, meskipun sesungguhnya relatif belum sangat tua, bahwa untuk action dalam play dan performance dengan materi sastra anak, mereka semula merasa enggan dan malu-malu, namun setelah ditugasi dengan berbaur akhirnya juga melakukan dengan baik. Hal semacam ini tentu berhubungan dengan psikologi mereka, sehingga yang lebih ditekankan adalah kesadaran tentang keberhasilan proses belajar mengajar yang memang memerlukan totalitas action.
Sebelum penutupan, ketika peserta PPM diberi pertanyaan apakah mereka mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru mengenai pembelajaran sastra anak ini, mereka secara sertentak menjawab, ya. Artinya, mereka sepakat bahwa evaluasi secara kemanfaatan, mereka telah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru dalam metode pembelajaran sastra anak ini. Ketika sesi tanya jawab, bahkan seorang peserta menyatakan kemungkinan keberhasilan penerapan metode play-learning dan performance-learning bagi materi pelajaran yang lain, seperti sejarah dan matematika.
Namun demikian secara personal, PPM ini dapat dinyatakan kurang maksimal, karena mereka tidak atau belum dievaluasi dalam rangka pembelajaran di kelas secara riil. Artinya, tingkat keberlangsungan PPM ini belum teruji secara nyata. Di samping itu masih ada beberapa peserta yang belum sempat maju dalam rangka micro-teaching, sehingga peserta ini baru mendapatkan pengetahuan, namun dalam rangka pengalaman pembelajarannya belum diujicobakan.
C. Evaluasi
Evaluasi dalam kegiatan pengabdian ini meliputi evaluasi materi dan kemanfaatan. Adapun indikator keberhasilan kegiatan ini adalah:
1.   Evaluasi materi
Pelatihan ini dapat dinilai berhasil, bila:
(1) Peserta dapat menguasai model pembelajaran play-learning dan performance art-learning dalam bentuk micro-teaching.
(2) Peserta dapat menerapkan model pembelajaran play-learning dan performance art-learning dalam bentuk micro-teaching
2. Evaluasi Kemanfaatan
Pelatihan ini dapat dinilai berhasil, bila:
(1) Peserta memiliki semangat dan kemauan untuk berlatih menerapkan model pembelajaran inovatif-kreatif yaitu play-learning dan performance art-learning.
(2) Peserta merasa mendapat tambahan pengetahuan dan ketrampilan untuk mengajar .
(3) Peserta dengan senang hati akan menyebarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada teman sejawat.
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan:  Pembelajaran sastra anak dengan metode play-learning dan performance-learning perlu diterapkan di sekolah, terutama SD, karena bersifat kreatif, inovatif, menarik dan menyenangkan, serta efektif dalam pembentukan kejiwaan anak. Pembelajaran semacam ini memang memerlukan persiapan dan totalitas kemauan dan kemampuan guru, sehingga keberhasilan proses belajar mengajar harus menjadi kesadaran yang ditekankan.
B. Saran: Perlu dilakukan pelatihan pada guru-guru SD di wilayah lainnya. Hal ini tidak hanya merupakan hasil simpulan dan saran pengabdi saja, namun juga menjadi usulan beberapa peserta dan juga usulan kepala UPTD Kecamatan Pengasih.
DAFTAR LAMPIRAN

  1. Daftar hadir peserta kegiatan pelatihan
  2. Foto-foto kegiatan pelatihan
  3. Contoh sertifikat
  4. Denah lokasi pelatihan
  5. Surat perjanjian pelaksanaan kegiatan (kontrak)
  6. Berita acara seminar awal dan akhir
  7. Daftar hadir seminar awal dan akhir
TIM PELAKSANA PPM

  1. Drs. Afendy Widayat
1. Nama Lengkap Drs. Afendy Widayat
2. NIP. 19620416 199203 1 002
3. Jabatan Lektor Kepala
4. Pangkat dan golongan Pembina/IVa
5. Tanggal lahir 14 April 1962
6. Tempat lahir Kulon Progo
7. Jenis kelamin Pria
8. Agama Kristen
9. Perguruan Tinggi Universitas Negeri Yogyakarta
10. Fakultas/Jurusan Bahasa dan Seni/Pendidikan Bahasa Daerah
11. Jabatan struktural -
12. Alamat Perguruan Tinggi Karangmalang, Yogyakarta 55281
13.Telp/Fax (0274) 586168, Fax : (0274) 565500
2. Drs. Suwardi, M.Hum.

CURRICULUM VITAE
1. Nama Lengkap Drs. Suwardi, M. Hum.
2. NIP. 131872518
3. Jabatan Lektor Kepala
4. Pangkat dan golongan Pembina Utama Muda/IVc
5. Tanggal lahir 3 April 1964
6. Tempat lahir Kulon Progo
7. Jenis kelamin Pria
8. Agama Islam
9. Perguruan Tinggi Universitas Negeri Yogyakarta
10. Fakultas/Jurusan Bahasa dan Seni/Pendidikan Bahasa Daerah
11. Jabatan struktural -
12. Alamat Perguruan Tinggi Karangmalang, Yogyakarta 55281
13.Telp/Fax (0274) 586168, Fax : (0274) 565500
3. Drs. Mulyana, M.Hum.
Nama                    : Drs. Mulyana, M.Hum.
NIP                       : 132006198
TTL                       : Klaten, 3 Oktober 1996
Agama                  : Islam
Pekerjaan             : Staf Pengajar FBS Universitas Negeri Yogyakarta
Alamat kantor        : Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah
Fakultas Bahasa dan Seni – Universitas Negeri Yogyakarta 55281
Karangmalang, Yogyakarta 55281 Telp. 0274-550843 ext.12
Alamat rumah      : (1) Medari Cilik RT 04/16 Caturharjo, Sleman, Yogyakarta 55515
(2) Kemloko RT 03/02 Caturharjo, Sleman, Yogyakarta 55515
HP.08175418658
Rekening               : BNI Cabang UGM – No. Rek. 228.780502039.901
Data Mahasiswa Pelaksana
Anggota 1
Nama   : Yunita Anggun Try W
NIM    : 09205241009
Kelas   : Reguler
Keahlian: Karawitan
Anggota 2
Nama   : Meilana Wijayanti
NIM    : 08205244007
Kelas   : Non Reguler
Keahlian: Sinden dan Karawitan
Anggota 3
Nama   : Rendy Hendrajaya S
NIM    : 08205244004
Kelas   : Non Reguler
Keahlian: Dalang dan Karawitan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar